KURSOR

Elsa - Disney's Frozen

Jumat, 13 Februari 2015

Tanam Paksa


A.     LATAR BELAKANG
1.       Di Eropa, Belanda terlibat dalam peperangan-peperangan pada masa kejayaan Napoleon sehingga menghabiskan biaya yang besar.
2.       Terjadinya perang kemerdekaan Belgia yang diakhiri dengan pemisahan Belgia dari Belanda pada tahun 1830.
3.       Terjadi perang Diponegoro (1825-1830) yang merupakan perlawanan rakyat jajahan termahal bagi Belanda. Perang Diponegoro menghabiskan biaya kurang lebih 20.000.000 gulden.
4.       Kas Negara Belanda kosong dan utang yang ditanggung Belanda cukup berat.
5.       Pemasukan uang dari penanaman kopi tidak banyak.
6.       Kegagalan usaha mempraktikkan gagasan liberal (1816-1830) dalam mengekspoitasi tanah jajahan untuk memberikan keuntungan yang besar terhadap negeri induk.

Oleh karena itu, Van Den Bosch sebagai pengusul dari Cultuurstelsel kemudian diangkat sebagai gubernur Jenderal Hindia Belanda. Tugas utamanya adalah mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari negeri jajahan untuk mengisi kas negeri Belanda yang kosong dan untuk membayar utang-utang Belanda.
Kegagalan van der Capellen menyebabkan jatuhnya kaum liberal, sehingga menyebabkan pemerintahan didominasi kaum konservatif. Gubernur Jenderal van den Bosch, menerapkan kebijakan politik dan ekonomi konservatif di Indonesia.Inilah awal dari dimulainya kebijakan tanam paksa atau juga disebut dengan (Cultuurstelsel) yang merupakan babak baru penderitaan bangsa Indonesia.  Tanam paksa merupakan kebijakan yang di lakukan oleh Gubernur Jenderal van den Bosch. Cultuurstelsel dalam bahasa Inggris adalah Cultivation System yang memiliki arti sistem tanam. Namun di Indonesia cultuurstelsel lebih dikenal dengan istilah tanam paksa. Ini cukup beralasan diartikan seperti itu karena dalam praktiknya rakyat dipaksa untuk bekerja dan menanam tanaman wajib tanpa mendapat imbalan.
Tanaman wajib adalah tanaman perdagangan yang laku di dunia internasional seperti kopi, teh, lada, kina, dan tembakau. Akibat adanya sistem tanam ini, pasokan padi mulai tak mencukupi bagi seluruh rakyat Indonesia karena lahan lebih besar di manfaatkan untuk penanaman komuditi ekspor yang menguntungkan bagi bangsa Belanda. Sehingga kelaparan mulai merebah dan meluas.
Selama masa kebijakan tanam paksa berbagai pajak pun tak luput bagi rakyat Indonesia mulai dari sewa tanah sampai pajak wajib. Hal ini memberikan dampak yang sangat kompleks bagi rakyat Indonesia baik moral maupun materiil. Karena kompleksitas masalah yang di timbulkan dari tanam paksa ini maka penulis mengambil kajian ini sebagai bahan untuk penyusunan makalah. Dalam makalah ini akan dipaparkan lebih lanjut mengenai sistem tanam paksa di Indonesia mulai latar belakang terjadinya tanam paksa, pelaksanaan tanam paksa sampai dampak yang ditimbulkan dari tanam paksa itu sendiri.

B.     PENGERTIAN TANAM PAKSA
Cultuurstelsel yang oleh sejarawan Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam Paksa, adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1930 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktik cultuurstelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Berdasarkan Konvensi London tahun 1814, pemerintah Belanda berkuasa kembali atas wilayah Indonesia meskipun kondisi ekonomi negara Belanda masih sangat lemah karena kas keuangannya dalam keadaan kosong. Lemahnya perekonomian pemerintah Belanda pada saat itu disebabkan oleh banyaknya utang negara Belanda terhadap luar negeri dan besarnya pengeluaran biaya perang di Eropa maupun di beberapa daerah Indonesia.
Berbagai upaya pun telah dilakukan pemerintah Belanda untuk menutup kekosongan kas keuangan negara, satu di antaranya adalah dengan menerapkan aturan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di Indonesia. Istilah tanam paksa berasal dari Bahasa Belanda, yaitu Cultuurstelsel (sistem penanaman atau aturan tanam paksa). Pencetus ide tanam paksa dan sekaligus pelaksana aturan tanam paksa di Indonesia adalah Johannes Van Den Bosch yang kemudian diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Description: Sejarah Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel)Penjajahan Belanda di Indonesia


Berikut adalah isi dari aturan tanam paksa :
1.       Tuntutan kepada setiap rakyat Indonesia agar menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
2.       Pembebasan tanah yang disediakan untuk cultuurstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran pajak.
3.       Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik pemerintah Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima tahun.
4.       Waktu untuk mengerjakan tanaman pada tanah pertanian untuk Culturstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau kurang lebih 3 (tiga) bulan
5.       Kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat
6.       Kerusakan atau kerugian sebagai akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani seperti bencana alam dan terserang hama, akan di tanggung pemerintah Belanda
7.       Penyerahan teknik pelaksanaan aturan tanam paksa kepada kepala desa
8.       Penggarapan tanaman di bawah pengawasan langsung oleh kepala-kepala pribumi, sedangkan pihak Belanda bertindak sebagai pengawas secara umum.


C.      LATAR BELAKANG TANAM PAKSA DI INDONESIA
Sejak awal abad ke-19, pemerintah Belanda mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membiayai peperangan, baik di Negeri Belanda sendiri (pemberontakan Belgia) maupun di Indonesia (terutama perlawanan Diponegoro) sehingga Negeri Belanda harus menanggung hutang yang sangat besar.
Untuk menyelamatkan Negeri Belanda dari bahaya kebrangkrutan maka Johanes van den Bosch diangkat sebagai gubernur jenderal di Indonesia dengan tugas pokok menggali dana semaksimal mungkin untuk mengisi kekosongan kas negara, membayar hutang, dan membiayai perang. Untuk melaksanakan tugas yang sangat berat itu, Van den Bosch memusatkan kebijaksanaannya pada peningkatan produksi tanaman ekspor. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan ialah mengerahkan tenaga rakyat jajahan untuk melakukan penanaman tanaman yang hasil-hasilnya dapat laku di pasaran dunia secara paksa.
Setelah tiba di Indonesia (1830) Van den Bosch menyusun program sebagai berikut :
1.       Sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus karena pemasukannya tidak banyak dan pelaksanaannya sulit.
2.       Sistem tanam bebas harus diganti dengan tanam wajib dengan jenis-jenis tanaman yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
3.       Pajak atas tanah harus diganti dengan penyerahan sebagian dari hasil tanamannya kepada pemerintah Belanda.



D.      PELAKSANAAN TANAM PAKSA DI INDONESIA
Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa. Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus.
Melihat aturan-aturannya, sistem tanam paksa tidak terlalu memberatkan, namun pelaksanaannya sangat menekan dan memberatkan rakyat. Adanya cultuur procent menyangkut upah yang diberikan kepada penguasa pribumi berdasarkan besar kecilnya setoran, ternyata cukup memberatkan beban rakyat.
            Untuk mempertinggi upah yang diterima, para penguasa pribumi berusaha memperbesar setoran, akibatnya timbulah penyelewengan-penyelewengan, antara lain sebagai berikut :
1.       Tanah yang disediakan melebihi 1/5, yakni 1/3 bahkan ½, malah ada seluruhnya karena seluruh desa dianggap subur untuk tanaman wajib
2.       Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani
3.       Tenaga kerja yang semestinya dibayar oleh pemerintah tidak dibayar
4.       Waktu yang dibutuhkan ternyata melebihi waktu penanaman padi
5.       Pekerjaan di perkebunan atau di pabrik, ternyata lebih berat daripada di sawah
6.       Kelebihan hasil yang seharusnya dikembalikan kepada petani, ternyata tidak dikembalikan


E.      DAMPAK TERJADINYA TANAM PAKSA DI INDONESIA
Dampak dari terjadinya tanam paksa di Indonesia dapat dikelompokkan dalam beberapa bidang yaitu :
v  Dalam Bidang Pertanian
Cultuurstelsel menandai dimulainya penanaman tanaman komoditi pendatang di Indonesia secara luas. Kopi dan teh, yang semula hanya ditanam untuk kepentingan keindahan taman mulai dikembangkan secara luas. Tebu, yang merupakan tanaman asli, menjadi populer pula setelah sebelumnya, pada masa VOC, perkebunan hanya berkisar pada tanaman "tradisional" penghasil rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkeh. Kepentingan peningkatan hasil dan kelaparan yang melanda Jawa akibat merosotnya produksi beras meningkatkan kesadaran pemerintah koloni akan perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil komoditi pertanian, dan secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian. Walaupun demikian, baru setelah pelaksanaan UU Agraria 1870 kegiatan penelitian pertanian dilakukan secara serius.
v  Dalam Bidang Sosial
Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah. Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri. Hal ini terjadi karena penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya.

v  Dalam Bidang Ekonomi
Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotongroyong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula. Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.
Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk tentara kolonial. Di samping itu, penduduk desa se tempat diwajibkan memelihara dan mengurus gedung-gedung pemerintah, mengangkut surat-surat, barang-barang dan sebagainya. Dengan demikian penduduk dikerahkan melakukan berbagai macam pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai kolonial dan kepala-kepala desa itu sendiri.
Pelaksanaan sistem tanam paksa banyak menyimpang dari aturan pokoknya dan cenderung untuk mengadakan eskploitasi agraris semaksimal mungkin. Oleh karena ittu, sistem tanam paksa menimbulkan akibat secara umum yaitu :
1.    Bagi Indonesia
o   Sawah ladang menjadi terbengkalai karena diwajibkan kerja rodi yang berkepanjangan sehingga penghasilan menurun drastis.
o   Beban rakyat semakin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, membayar pajak, mengikuti kerja rodi, dan menanggung risiko apabila panen gagal.
o   Akibat bermacam-macam beban, menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
o   Timbulnya bahaya kemiskinan yang makin berat.
o   Timbulnya bahaya kelaparan dan wabah penyakit dimana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. Bahaya kelaparan menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di daerah Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian ini mengakibatkan jumlah penduduk menurun darstis. Disamping itu, juga terjadi penyakit busung lapar (hongorudim) dimana-mana.
2.    Bagi Belanda
o    Keuntungan dan kemakmuran rakyat Belanda.
o    Hutang-hutang Belanda terlunasi.
o    Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
o    Kas Negeri Belanda yang semula kosong dapat terpenuhi.
o    Amsterdam berhasil dibangun menjadi kota pusat perdagangan dunia dan perdagangan berkembang pesat

F.      AKHIR DARI TANAM PAKSA DI INDONESIA
Sistem tanam paksa yang mengakibatkan kemelaratan bagi bangsa Indonesia, khususnya Jawa, akhirnya menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, seperti berikut ini :
1.    Golongan Pengusaha
Golongan ini menghendaki kebebasan berusaha. Mereka menganggap bahwa tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal.
2.    Baron van Hoevel
Ia adalah seorang missionaris yang pernah tinggal di Indonesia (1847). Dalam perjalanannya di Jawa, Madura dan Bali, ia melihat penderitaan rakyat Indonesia akibat tanam paksa. Ia sering melancarkan kecaman terhadap pelaksanaan tanam paksa. Setelah pulang ke Negeri Belanda dan terpilih sebagai anggota parlemen, ia semakin gigih berjuang dan menuntut agar tanam paksa dihapuskan.
3.    Eduard Douwes Dekker
Ia adalah seorang pejabat Belanda yang pernah menjadi Asisten Residen (Banten). Ia cinta kepada penduduk pribumi, khususnya yang menderita akibat tanam paksa. Dengan nama samaran Multatuli yang berarti “aku telah banyak menderita”, ditulisnya buku Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda (1859) yang menggambarkan penderitaan rakyat akibat tanam paksa dalam kisah Saijah dan Adinda.
Akibat adanya reaksi tersebut, pemerintah Belanda secara berangsurangsur menghapuskan sistem tanam paksa. Nila, teh, kayu manis dihapuskan pada tahun 1865, tembakau tahun 1866, kemudian menyusul tebu tahun 1884. Tanaman terakhir yang dihapus adalah kopi pada tahun 1917 karena paling banyak memberikan keuntungan.











KESIMPULAN
Dari uraian diataas mengenai sistem tanam paksa di Indonesia kita bisa mengetahui tentang pengertian tanam paksa, yaitu suatu peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van Den Bosch pada tahun 1930 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu dan tarum (nila). Latar belakang tanam paksa dikarenakan negara Belanda mengalami kebangkrutan dan banyak hutang oleh karena itu pemerintah Belanda mengerahkan tenaga rakyat jajahan untuk melakukan penanaman tanaman yang hasil-hasilnya dapat laku di pasaran dunia secara paksa.
Dalam pelaksanaannya tanam paksa sangat merugikan rakyat Indonesia sendiri. Melihat aturannya tanam paksa tidak terlalu memberatkan, namun pelaksanaannya sangat menekan dan memberatkan rakyat. Adanya cultuur procent menyangkut upah yang diberikan kepada penguasa pribumi berdasarkan besar kecilnya setoran, ternyata sangat memberatkan rakyat.
Akhir tanam paksa diakibatkan karena ada reaksi protes dari berbagai golongan. Akibat adanya reaksi tersebut, pemerintah Belanda secara berangsur-angsur menghapuskan sistem tanam paksa. Nila, teh, kayu manis dihapuskan pada tahun 1865, tembakau tahun 1866, kemudian menyusul tebu tahun 1884. Tanaman terakhir yang dihapus adalah kopi pada tahun 1917 karena paling banyak memberikan keuntungan.

SARAN
Dengan adanya kejadian di masa lampau kita hendaknya mengambil pelajaran atau hikmah yang terkandung dalam suatu peristiwa sehingga mampu membuat kita lebih arif dalam bertindak.
Tanam paksa merupakan contoh dari suatu kebijakan Belanda yang sangat merugikan rakyat Indonesia baik dari segi mental maupun fisik yang dikarenakan kurangnya persatuan dan kesatuan dari rakyat Indonesia itu sendiri dalam melawan kebijakan Belanda.