A.
LATAR BELAKANG
1. Di Eropa, Belanda terlibat
dalam peperangan-peperangan pada masa kejayaan Napoleon sehingga menghabiskan
biaya yang besar.
2. Terjadinya perang kemerdekaan
Belgia yang diakhiri dengan pemisahan Belgia dari Belanda pada tahun 1830.
3. Terjadi perang Diponegoro
(1825-1830) yang merupakan perlawanan rakyat jajahan termahal bagi Belanda.
Perang Diponegoro menghabiskan biaya kurang lebih 20.000.000 gulden.
4. Kas Negara Belanda kosong dan
utang yang ditanggung Belanda cukup berat.
5. Pemasukan uang dari penanaman
kopi tidak banyak.
6. Kegagalan usaha mempraktikkan
gagasan liberal (1816-1830) dalam mengekspoitasi tanah jajahan untuk memberikan
keuntungan yang besar terhadap negeri induk.
Oleh karena itu, Van Den Bosch
sebagai pengusul dari Cultuurstelsel kemudian
diangkat sebagai gubernur Jenderal Hindia Belanda. Tugas utamanya adalah mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari
negeri jajahan untuk mengisi kas negeri Belanda yang kosong dan untuk membayar
utang-utang Belanda.
Kegagalan van der Capellen menyebabkan jatuhnya kaum liberal, sehingga
menyebabkan pemerintahan didominasi kaum konservatif. Gubernur Jenderal van den
Bosch, menerapkan kebijakan politik dan ekonomi konservatif di Indonesia.Inilah awal dari dimulainya kebijakan tanam paksa atau
juga disebut dengan (Cultuurstelsel) yang merupakan
babak baru penderitaan bangsa Indonesia. Tanam paksa merupakan kebijakan
yang di lakukan oleh Gubernur Jenderal van den Bosch. Cultuurstelsel dalam bahasa
Inggris adalah Cultivation System yang memiliki arti sistem tanam. Namun
di Indonesia cultuurstelsel lebih dikenal dengan istilah tanam paksa.
Ini cukup beralasan diartikan seperti itu karena dalam praktiknya rakyat
dipaksa untuk bekerja dan menanam tanaman wajib tanpa mendapat imbalan.
Tanaman wajib adalah tanaman perdagangan yang laku di dunia
internasional seperti kopi, teh, lada, kina, dan tembakau. Akibat adanya sistem tanam ini, pasokan padi mulai
tak mencukupi bagi seluruh rakyat Indonesia karena lahan lebih besar di
manfaatkan untuk penanaman komuditi ekspor yang menguntungkan bagi bangsa
Belanda. Sehingga kelaparan mulai merebah dan meluas.
Selama masa
kebijakan tanam paksa berbagai pajak pun tak luput bagi rakyat Indonesia mulai
dari sewa tanah sampai pajak wajib. Hal ini memberikan dampak yang sangat
kompleks bagi rakyat Indonesia baik moral maupun materiil. Karena kompleksitas
masalah yang di timbulkan dari tanam paksa ini maka penulis mengambil kajian
ini sebagai bahan untuk penyusunan makalah. Dalam makalah ini akan dipaparkan
lebih lanjut mengenai sistem tanam paksa di Indonesia mulai latar belakang
terjadinya tanam paksa, pelaksanaan tanam paksa sampai dampak yang ditimbulkan
dari tanam paksa itu sendiri.
B.
PENGERTIAN TANAM PAKSA
Cultuurstelsel
yang oleh sejarawan Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam Paksa, adalah
peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal
Johannes
van den Bosch pada tahun 1930 yang mewajibkan setiap desa
menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum
(nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang
sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial.
Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun
(20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada praktiknya
peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian
wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang
digunakan untuk praktik cultuurstelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang
tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan
pertanian.
Tanam paksa
adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia
Belanda. Sistem tanam
paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran
pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada
jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman
tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah.
Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman
keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Berdasarkan
Konvensi London tahun 1814, pemerintah Belanda berkuasa kembali atas wilayah
Indonesia meskipun kondisi ekonomi negara Belanda masih sangat lemah karena kas
keuangannya dalam keadaan kosong. Lemahnya perekonomian pemerintah Belanda pada
saat itu disebabkan oleh banyaknya utang negara Belanda terhadap luar negeri
dan besarnya pengeluaran biaya perang di Eropa maupun di beberapa daerah
Indonesia.
Berbagai upaya
pun telah dilakukan pemerintah Belanda untuk menutup kekosongan kas keuangan
negara, satu di antaranya adalah dengan menerapkan aturan Tanam Paksa (Cultuurstelsel)
di Indonesia. Istilah tanam paksa berasal dari Bahasa Belanda, yaitu Cultuurstelsel
(sistem penanaman atau aturan tanam paksa). Pencetus ide tanam paksa dan
sekaligus pelaksana aturan tanam paksa di Indonesia adalah Johannes Van Den
Bosch yang kemudian diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Berikut adalah isi dari aturan tanam paksa :
1. Tuntutan kepada setiap rakyat Indonesia agar
menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau
seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
2.
Pembebasan
tanah yang disediakan untuk cultuurstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya
dianggap sebagai pembayaran pajak.
3.
Rakyat yang
tidak memiliki tanah pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perkebunan
milik pemerintah Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari
atau seperlima tahun.
4.
Waktu untuk
mengerjakan tanaman pada tanah pertanian untuk Culturstelsel tidak boleh
melebihi waktu tanam padi atau kurang lebih 3 (tiga) bulan
5.
Kelebihan hasil
produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat
6.
Kerusakan atau
kerugian sebagai akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani seperti
bencana alam dan terserang hama, akan di tanggung pemerintah Belanda
7.
Penyerahan
teknik pelaksanaan aturan tanam paksa kepada kepala desa
8. Penggarapan tanaman di bawah
pengawasan langsung oleh kepala-kepala pribumi, sedangkan pihak Belanda
bertindak sebagai pengawas secara umum.
C.
LATAR BELAKANG TANAM PAKSA DI INDONESIA
Sejak awal abad ke-19, pemerintah Belanda mengeluarkan biaya yang sangat
besar untuk membiayai peperangan, baik di Negeri Belanda sendiri (pemberontakan
Belgia) maupun di Indonesia (terutama perlawanan Diponegoro) sehingga Negeri
Belanda harus menanggung hutang yang sangat besar.
Untuk menyelamatkan Negeri Belanda dari bahaya kebrangkrutan maka Johanes
van den Bosch diangkat sebagai gubernur jenderal di Indonesia dengan tugas
pokok menggali dana semaksimal mungkin untuk mengisi kekosongan kas negara,
membayar hutang, dan membiayai perang. Untuk melaksanakan tugas yang sangat
berat itu, Van den Bosch memusatkan kebijaksanaannya pada peningkatan produksi
tanaman ekspor. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan ialah mengerahkan tenaga
rakyat jajahan untuk melakukan penanaman tanaman yang hasil-hasilnya dapat laku
di pasaran dunia secara paksa.
Setelah tiba di
Indonesia (1830) Van den Bosch menyusun program sebagai berikut :
1. Sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus karena
pemasukannya tidak banyak dan pelaksanaannya sulit.
2.
Sistem tanam
bebas harus diganti dengan tanam wajib dengan jenis-jenis tanaman yang sudah
ditentukan oleh pemerintah.
3. Pajak atas tanah harus diganti dengan penyerahan
sebagian dari hasil tanamannya kepada pemerintah Belanda.
D.
PELAKSANAAN
TANAM PAKSA DI INDONESIA
Sistem tanam
paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan
di Jawa. Pemerintah kolonial
memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis.
Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang
membubung, dibudidayakan.
Bagi pemerintah
kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan
punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya,
lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia.
Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda
disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung,
Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda
yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus.
Melihat
aturan-aturannya, sistem tanam paksa tidak terlalu memberatkan, namun
pelaksanaannya sangat menekan dan memberatkan rakyat. Adanya cultuur procent
menyangkut upah yang diberikan kepada penguasa pribumi berdasarkan besar
kecilnya setoran, ternyata cukup memberatkan beban rakyat.
Untuk mempertinggi upah yang diterima, para penguasa pribumi berusaha
memperbesar setoran, akibatnya timbulah penyelewengan-penyelewengan, antara
lain sebagai berikut :
1. Tanah yang disediakan melebihi 1/5, yakni 1/3 bahkan
½, malah ada seluruhnya karena seluruh desa dianggap subur untuk tanaman wajib
2.
Kegagalan panen
menjadi tanggung jawab petani
3.
Tenaga kerja
yang semestinya dibayar oleh pemerintah tidak dibayar
4.
Waktu yang
dibutuhkan ternyata melebihi waktu penanaman padi
5.
Pekerjaan di
perkebunan atau di pabrik, ternyata lebih berat daripada di sawah
6. Kelebihan hasil yang seharusnya dikembalikan kepada
petani, ternyata tidak dikembalikan
E.
DAMPAK
TERJADINYA TANAM PAKSA DI INDONESIA
Dampak dari
terjadinya tanam paksa di Indonesia dapat dikelompokkan dalam beberapa bidang
yaitu :
v Dalam Bidang Pertanian
Cultuurstelsel
menandai dimulainya penanaman tanaman komoditi pendatang di Indonesia secara
luas. Kopi dan teh, yang semula hanya ditanam untuk kepentingan keindahan taman
mulai dikembangkan secara luas. Tebu, yang merupakan tanaman asli, menjadi
populer pula setelah sebelumnya, pada masa VOC, perkebunan hanya berkisar pada
tanaman "tradisional" penghasil rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkeh. Kepentingan peningkatan hasil dan kelaparan yang melanda Jawa akibat
merosotnya produksi beras meningkatkan kesadaran pemerintah koloni akan
perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil komoditi pertanian, dan secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat
melalui pertanian. Walaupun demikian, baru setelah pelaksanaan UU Agraria 1870
kegiatan penelitian pertanian dilakukan secara serius.
v Dalam Bidang Sosial
Dalam bidang
pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya
perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya
homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian
tanah. Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan
menghambat perkembangan desa itu sendiri. Hal ini terjadi karena penduduk lebih
senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan
kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya.
v Dalam Bidang Ekonomi
Dengan adanya
tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya
tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan
gotongroyong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik
gula. Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan
sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak
terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara
paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah,mengakibatkan
perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia
di kemudian hari.
Akibat lain
dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu kerja
paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya
kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa pembangunan-pembangunan
seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah pesanggrahan untuk
pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk tentara kolonial. Di
samping itu, penduduk desa se tempat diwajibkan memelihara dan mengurus
gedung-gedung pemerintah, mengangkut surat-surat, barang-barang dan sebagainya.
Dengan demikian penduduk dikerahkan melakukan berbagai macam pekerjaan untuk
kepentingan pribadi pegawai-pegawai kolonial dan kepala-kepala desa itu
sendiri.
Pelaksanaan sistem tanam paksa banyak menyimpang
dari aturan pokoknya dan cenderung untuk mengadakan eskploitasi agraris
semaksimal mungkin. Oleh karena
ittu, sistem tanam paksa menimbulkan akibat secara umum yaitu :
1. Bagi Indonesia
o Sawah ladang menjadi terbengkalai karena diwajibkan
kerja rodi yang berkepanjangan sehingga penghasilan menurun drastis.
o
Beban rakyat
semakin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya,
membayar pajak, mengikuti kerja rodi, dan menanggung risiko apabila panen gagal.
o
Akibat bermacam-macam
beban, menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
o
Timbulnya
bahaya kemiskinan yang makin berat.
o Timbulnya bahaya kelaparan dan wabah penyakit
dimana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. Bahaya kelaparan
menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di daerah Cirebon (1843), Demak
(1849), dan Grobogan (1850). Kejadian ini mengakibatkan jumlah penduduk menurun
darstis. Disamping itu, juga terjadi penyakit busung lapar (hongorudim)
dimana-mana.
2. Bagi Belanda
o Keuntungan dan kemakmuran rakyat Belanda.
o Hutang-hutang Belanda terlunasi.
o Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
o Kas Negeri Belanda yang semula kosong dapat terpenuhi.
o Amsterdam berhasil dibangun menjadi kota pusat
perdagangan dunia dan perdagangan berkembang pesat
F.
AKHIR DARI TANAM PAKSA DI INDONESIA
Sistem tanam
paksa yang mengakibatkan kemelaratan bagi bangsa Indonesia, khususnya Jawa,
akhirnya menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, seperti berikut ini :
1. Golongan Pengusaha
Golongan ini menghendaki
kebebasan berusaha. Mereka menganggap bahwa tanam paksa tidak sesuai dengan
ekonomi liberal.
2. Baron van Hoevel
Ia adalah
seorang missionaris yang pernah tinggal di Indonesia (1847). Dalam
perjalanannya di Jawa, Madura dan Bali, ia melihat penderitaan rakyat Indonesia
akibat tanam paksa. Ia sering melancarkan kecaman terhadap pelaksanaan tanam
paksa. Setelah pulang ke Negeri Belanda dan terpilih sebagai anggota parlemen,
ia semakin gigih berjuang dan menuntut agar tanam paksa dihapuskan.
3. Eduard Douwes Dekker
Ia adalah
seorang pejabat Belanda yang pernah menjadi Asisten Residen (Banten). Ia cinta
kepada penduduk pribumi, khususnya yang menderita akibat tanam paksa. Dengan
nama samaran Multatuli yang berarti “aku telah banyak menderita”, ditulisnya
buku Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda (1859) yang
menggambarkan penderitaan rakyat akibat tanam paksa dalam kisah Saijah dan
Adinda.
Akibat adanya reaksi tersebut, pemerintah
Belanda secara berangsurangsur menghapuskan sistem tanam paksa. Nila, teh, kayu
manis dihapuskan pada tahun 1865, tembakau tahun 1866, kemudian menyusul tebu
tahun 1884. Tanaman terakhir yang dihapus adalah kopi pada tahun 1917 karena
paling banyak memberikan keuntungan.
KESIMPULAN
Dari uraian
diataas mengenai sistem tanam paksa di Indonesia kita bisa mengetahui tentang
pengertian tanam paksa, yaitu suatu peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur
Jenderal Johannes van Den Bosch pada tahun 1930 yang mewajibkan setiap desa
menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya
kopi, tebu dan tarum (nila). Latar belakang tanam paksa dikarenakan negara
Belanda mengalami kebangkrutan dan banyak hutang oleh karena itu pemerintah
Belanda mengerahkan tenaga rakyat jajahan untuk melakukan penanaman tanaman
yang hasil-hasilnya dapat laku di pasaran dunia secara paksa.
Dalam
pelaksanaannya tanam paksa sangat merugikan rakyat Indonesia sendiri. Melihat
aturannya tanam paksa tidak terlalu memberatkan, namun pelaksanaannya sangat
menekan dan memberatkan rakyat. Adanya cultuur procent menyangkut upah yang
diberikan kepada penguasa pribumi berdasarkan besar kecilnya setoran, ternyata
sangat memberatkan rakyat.
Akhir tanam
paksa diakibatkan karena ada reaksi protes dari berbagai golongan. Akibat
adanya reaksi tersebut, pemerintah Belanda secara berangsur-angsur menghapuskan
sistem tanam paksa. Nila, teh, kayu manis dihapuskan pada tahun 1865, tembakau
tahun 1866, kemudian menyusul tebu tahun 1884. Tanaman terakhir yang dihapus adalah
kopi pada tahun 1917 karena paling banyak memberikan keuntungan.
SARAN
Dengan adanya
kejadian di masa lampau kita hendaknya mengambil pelajaran atau hikmah yang
terkandung dalam suatu peristiwa sehingga mampu membuat kita lebih arif dalam
bertindak.
Tanam paksa
merupakan contoh dari suatu kebijakan Belanda yang sangat merugikan rakyat
Indonesia baik dari segi mental maupun fisik yang dikarenakan kurangnya
persatuan dan kesatuan dari rakyat Indonesia itu sendiri dalam melawan
kebijakan Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar